Beranda | Artikel
Upaya Rasulullah Dalam Menjaga Tauhid Umat
Sabtu, 13 Desember 2014

Buletin At-Tauhid edisi 47 Tahun ke X

Bismillah wa laa haula wa laa quwwata illa billah

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya Allah tidak akan mengampuni dosa syirik, dan Dia mengampuni segala dosa yang derajatnya di bawah syirik, bagi siapa yang dikehendaki-Nya” (QS. An Nisaa : 48)

Allah juga berfirman (yang artinya), “Sesungguhnya orang yang mempersekutukan (sesuatu dengan) Allah, maka pasti Allah mengharamkan surga untuknya, dan tempatnya ialah neraka, tidaklah ada bagi orang-orang zhalim itu seorang penolongpun” (QS. Al Maa-idah : 72)

Tentu kita telah mengetahui akan bahaya kesyirikan. Dimana Allah Ta’ala tidak akan mengampuni dosa kesyirikan dan akan mengharamkan surga bagi orang yang berbuat syirik namun belum bertaubat hingga ajal menjemput. Oleh karena itu, kesyirikan merupakan bahaya terbesar yang mengancam umat.

 

Diutusnya rasul, nikmat Allah kepada manusia

Diantara nikmat Allah Ta’ala kepada umat manusia adalah diutusnya seorang rasul yang memperingatkan umatnya dari bahaya besar kesyirikan ini. Seorang rasul yang bersemangat membimbing umatnya menuju kebaikan tauhid.

Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, terasa berat olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang mukmin” (QS. At Taubah : 128)

Pada ayat yang mulia di atas, Allah menyebutkan bagaimana sifat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam terhadap umat beliau. Sifat-sifat tersebut berkonsekuensi bahwa beliau akan memperingatkan dan memerintahkan umat beliau agar waspada dari kesyirikan yang merupakan dosa terbesar. Bahkan beliau sangat keras saat melarang umat beliau melakukan hal-hal yang dapat menjerumuskan kepada kesyirikan, semisal mengagungkan kuburan dan berlebihan terhadap kubur, shalat di samping kubur atau shalat menghadapnya, dan berbagai perantara menuju kesyirikan yang lainnya. (Fathul Majid, hal. 266)

 

Upaya Nabi menjaga tauhid umat

Ada sebuah pesan yang Nabi sampaikan untuk umat beliau demi menjaga mereka dari ketergelinciran kepada kesyirikan. Dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian menjadikan rumah kalian sebagai kuburan. Dan janganlah kalian jadikan kuburku sebagai ‘ied (tempat yang selalu dikunjungi). Bershalawatlah kepadaku, sesungguhnya shalawat kalian akan sampai kepadaku dimana saja kalian berada” (HR. Abu Dawud, Ahmad)

Pada hadits ini, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam melarang membiarkan rumah seseorang kosong dari ibadah shalat sunnah, berdo’a, atau membaca Al Qur’an sehingga seolah-olah rumah seperti kuburan. Nabi juga melarang umat beliau membiasakan ziarah ke kubur beliau dan mengadakan acara rutin kumpul-kumpul di dekat kubur beliau dalam rangka berdo’a atau mendekatkan diri kepada Allah. Karena hal tersebut termasuk perantara menuju kesyirikan.

Nabi membimbing umat beliau agar tidak melakukan hal di atas, lalu mengarahkan mereka untuk memperbanyak bershalawat dan salam kepada beliau di manapun berada, karena shalawat kepada beliau akan sampai kepada beliau baik dari tempat yang dekat maupun dari tempat yang jauh sekalipun dari kubur beliau. Sehingga tidak perlu repot-repot mendatangi kubur Nabi hanya untuk bershalawat kepada beliau. (Al Mulakhas fi Syarh Kitab Tauhid, hal. 185)

 

Jangan menjadikan rumah seperti kuburan

Sabda Nabi, “Janganlah kalian menjadikan rumah kalian sebagai kuburan” memiliki dua pengertian :

1. Jangan mengubur mayit di dalam rumah, tapi kuburlah di pemakaman umum kaum muslimin. Inilah kebiasaan yang telah dilakukan kaum muslimin sejak masa Rasulullah hidup.

Jika muncul pertanyaan : “Bukankah Rasulullah dikubur di rumah beliau?” Jawabannya ada dalam hadits Abu Bakar radhiyallahu ‘anhu yang menyatakan bahwa seorang nabi dikuburkan di tempat wafatnya (HR. Tirmidzi, Ibnu Majah, Ahmad).

2. Janganlah menjadikan rumah kalian seperti kuburan, tidak pernah dilakukan shalat di dalamnya, sepi dari lantunan ayat Al Qur’an maupun panjatan do’a.

Kedua makna tersebut benar. Jika kita merenungi makna kedua, teranglah bagi kita penjelasan dari Nabi bahwa kuburan bukanlah tempat untuk ibadah (Al Qaulul Mufiid ‘ala Kitab Tauhid, hal. 284)

Larangan menjadikan kubur sebagai masjid

Dari hadits di atas juga disimpulkan adanya larangan menjadikan kubur sebagai masjid. Bahkan terdapat dalil tegas terkait hal ini, yakni sabda Rasulullah, “Janganlah kalian menjadikan kubur sebagai masjid. Sesungguhnya aku melarang kalian dari hal tersebut!” (HR. Muslim)

Menjadikan kubur sebagai masjid ada dua bentuk : (1) Membangun masjid di atas kubur, atau (2) shalat di samping kubur, karena masjid bisa berarti semua tempat dilaksanakannya shalat. Menjadikan kubur sebagai masjid termasuk sarana menuju kesyirikan sehingga Nabi pun melarang hal tersebut. (Al Qaulul Mufiid, hal. 285)

 

Janganlah menjadikan kubur Nabi sebagai ‘ied

Makna sabda beliau “janganlah kalian jadikan kuburku sebagai ‘ied” adalah, beliau melarang umat beliau merutinkan dan membiasakan berziarah ke kubur beliau, karena hal tersebut dapat membuat Nabi diagungkan seperti diagungkannya Allah.

Menjadikan kubur sebagai’ied termasuk perantara terjadinya kesyirikan. Oleh karena itu, Nabi membimbing agar umat beliau cukup bershalawat di manapun mereka berada, agar umat beliau tidak rutin berziarah ke kubur beliau. (At Tamhid Syarh Kitab Tauhid, hal. 276).

Namun catatan penting, bukan berarti ziarah kubur itu haram. Ziarah kubur hukumnya sunnah. Yang terlarang di sini adalah merutinkan ziarah ke kubur Nabi sehingga dikhawatirkan justru ziarah tersebut menjadi sarana terjadinya kesyirikan.

Bagaimana berziarah kubur yang sunnah? Sebagaimana sabda Rasulullah, ziarah kubur disyari’atkan agar peziarah dapat mengambil pelajaran dan mengingat kematian. Jika demikian alasannya, tentu semua kubur bisa diziarahi, sebab semua kuburan akan mengingatkan seseorang kepada kematian. Sehingga, jika ada yang mengkhususkan ziarah hanya ke kubur Rasulullah dan merutinkannya, tentu ada keyakinan tersembunyi dibalik perbuatannya tersebut. Inilah yang Rasulullah khawatirkan. Sarana menuju kesyirikan. Akhirnya meminta kepada Rasulullah yang telah wafat, bukan kepada Allah Yang Maha Hidup.

Kesimpulannya, Rasulullah melarang umat beliau merutinkan ziarah ke kubur beliau. Jika ingin mendo’akan beliau, cukup bershalawat untuk beliau dimanapun kita berada. Sebab shalawat umat beliau akan disampaikan kepada beliau, meski dari orang yang tinggal di ujung dunia.

Kisah ahlu bait menegur orang yang berdo’a di kubur Nabi

Diriwayatkan oleh Dhiyaa-uddin Muhammad Al Maqdisi dalam Al Mukhtarat, ‘Ali bin Al Husain bin ‘Ali bin Abi Thalib radhiyallahu ‘anhu –termasuk ahlu bait Nabi yang paling shalih- pernah menjumpai seseorang berjalan menuju celah dinding dekat kubur Nabi lalu berdo’a di sana. Beliau pun melarang orang tersebut dari perbuatannya dan membawakan sabda Rasulullah, “Janganlah kalian menjadikan kuburku sebagai ‘ied, jangan menjadikan rumah kalian seperti kuburan. Bershalawatlah kepadaku, karena sesungguhnya shalawat kalian akan sampai kepadaku”

Dalam hadits di atas, terdapat larangan bersengaja mendatangi kubur Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam untuk berdo’a di sana. Jika kepada kubur Nabi saja tidak diperkenankan, apalagi ke selain kubur beliau? Karena hal tersebut –membiasakan datang ke kubur Nabi- termasuk menjadikan kubur Nabi sebagai ‘ied, yang merupakan perantara menuju kesyirikan. (Al Mulakhas, hal. 187)

 

Keistimewaan ibadah di dekat kubur?

Tak diragukan lagi, lelaki yang ditegur oleh ‘Ali bin Al Husain di atas rutin mendatangi kubur Nabi untuk berdo’a tentu dilandasi keyakinan adanya keutamaan atau keistimewaan beribadah di dekat kubur. Keyakinannya tersebut dapat membuka jalan terjadinya kesyirikan.

Perlu diketahui, seluruh ibadah yang kebetulan dilaksanakan di dekat kubur –semisal menshalatkan mayit (yang telah dikubur bagi orang yang tertinggal shalat jenazah), atau mendo’akan mayit, atau membaca Al Qur’an- tidak boleh dilandasi dengan keyakinan adanya keutamaan ibadah di sisi kubur. (Al Qaulul Mufid, hal. 287)

Karena memang kubur bukanlah tempat ibadah, tapi tempat memakamkan mayit. sebagaimana sabda Nabi sebelumya, “Jangan menjadikan rumah kalian seperti kuburan (yakni sepi dari ibadah)”

 

Larangan berlebihan dalam agama

Rasulullah juga melarang kaum muslimin berlebihan dalam agama, khususnya dalam menyikapi orang shalih. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, “Janganlah kalian berlebihan memujiku sebagaimana nasrani berlebihan memuji ‘Isa putra Maryam. Aku hanyalah seorang hamba. Maka katakanlah : (Muhammad adalah) hamba Allah dan Rasul-Nya” (HR. Bukhari dan Muslim)

Tidak boleh seorang muslim berlebihan dalam menyanjung Rasulullah. Berlebihan dalam menyanjung Rasulullah dapat menggelincirkan seseorang kepada kesyirikan. Namun katakanlah : Rasulullah adalah hamba Allah yang tidak boleh disembah, dan utusan Allah yang tidak boleh didustakan.

 

Semua dalam rangka menjaga tauhid umat

Kita sepatutnya bersyukur kepada Allah yang telah mengutus Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam ke tengah-tengah kita. Seorang Nabi yang bersemangat membimbing umatnya menuju kebaikan tauhid, dan tegas melarang umatnya melakukan berbagai perantara terjadinya kesyirikan dengan dilandasi rasa kasih sayang kepada mereka. Semua larangan yang beliau tegaskan adalah untuk menjaga kemurnian tauhid di tengah-tengah kaum muslimin.

Mari wujudkan rasa syukur kepada Allah dengan mentaati seluruh perintah Rasulullah, dan meninggalkan segala macam kebiasaan yang menyelisihi larangan beliau. Allah Ta’ala berfirman (yang artinya), “Katakanlah (wahai Muhammad) : “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu” (QS. Ali ‘Imran : 31). Wa billahit taufiq.

 

Penulis  : Yananto Sulaimansyah

Muroja’ah : Ustadz Afifi Abdul Wadud

 


Artikel asli: https://buletin.muslim.or.id/upaya-rasulullah-dalam-menjaga-tauhid-umat/